Assalamu'alaikum Wr.Wb

Adversity Quotient


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Adversity Quotient (AQ)

            Konsep Adversity Quotient ini dikemukakan pada tahun 1997 oleh Paul G. Stolzs Ph,D. Konsep ini merupakan hasil dari suatu rangkaian penelitian yang dilakukan secara berkesinambungan selama bertahun-tahun oleh sekelompok peneliti. Latar belakang konsep ini adalah melalui kajian mengenai faktor penentu kesuksesan.
            Dahulu yang dianggap sebagai faktor penentu keberhasilan seseorang dalam pendidikan, pekerjaan dan kehidupan adalah kecerdasan. Konsep kecerdasan kita kenal dengan istilah IQ (kecerdasan intelektual); yang dicetuskan oleh William Stern, konsep ini pertama muncul pada abad ke XX. Secara umum IQ merupakan kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah logis atau strategis. Pada saat itu, IQ dianggap sebagai faktor penentu kesuksesan seseorang. Seiring perkembangannya, banyak ditemukan orang dengan IQ yang tinggi tetapi tidak mewujudkan potensinya.
            Pada tahun 1990, Daniel Goleman menjelaskan mengapa beberapa orang dengan IQ yang tinggi mengalami kegagalan sementara orang lain dengan IQ yang sedang bisa berkembang dengan pesat. Konsep yang dipopulerkannya adalah EQ (kecerdasan emosi), yang mencerminkan kemampuan untuk berempati dengan orang lain, menunda rasa gembira, mengendalikan dorongan-dorongan hati, sadar diri, dan rasa bergaul secara efektif dengan orang lain. Dengan kata lain, EQ merupakan kemampuan seseorang untuk mengelola emosinya, baik yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan, dengan berdasarkan pada pengalaman masa lalunya, sehingga ia dapat membuat suatu keputusan untuk menampilkan tingkah laku yang sesuai dengan keputusan yang akan diraihnya.
            Daniel Goleman secara meyakinkan, mengungkapkan bahwa pada kehidupan, EQ lebih penting daripada IQ. Namun seperti halnya IQ, tidak setiap orang dapat memanfaatkan EQ yang dimilikinya. Sejumlah orang memiliki IQ tinggi beserta segala aspek EQ, namun mereka gagal menunjukkan kemampuannya. Agaknya bukan IQ maupun EQ yang menentukan keberhasilan seseorang, meskipun keduanya memegang peranan.
            Baik IQ maupun EQ secara terpisah atau dikombinasikan tidak cukup untuk menjelaskan keseluruhan kompleksitas manusia. Maka pada beberapa tahun belakangan ini muncul konsep-konsep baru, salah satunya adalah Adversity Quotient atau yang lebih dikenal dengan istilah AQ.

2.1.1. Pengertian Adversity Quotient (AQ)

            Adversity Quotient” merupakan pola tanggapan yang ada dalam pikiran individu terhadap kesulitan, yang selanjutnya menentukan bagaimana tindakan individu terhadap kesulitan yang dihadapinya. (Paul G. Stolz, Ph.D ). AQ menggambarkan pola seseorang dalam mengolah tanggapan atas semua bentuk dan intensitas dari kesulitan, mulai dari tragedi yang besar sampai gangguan yang kecil. Semuanya ini mengenai cara seseorang menanggapi kesulitan pada tingkat yang paling mendasar dimana otak dan setiap dalam tubuh seseorang bekerja secara otomatis dalam menanggapi kesulitan itu.

            Lebih jelas lagi, AQ :

·           Mempengaruhi semua segi usaha manusia.
·           Dapat diukur secara sah dan dapat diandalkan.
·         Memberitahu seberapa baik seseorang dapat bertahan dalam kesulitan dan mengukur kemampuan seseorang dalam mengatasi kesulitan itu.
·         Dapat diubah polanya dan dapat diperbaiki secara permanen dan diperkuat.
·         Dapat memperkirakan kinerja pegawai, penjualan perusahaan dan sukses jangka panjang yang sah.
·         Memperkirakan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan terus berusaha dan terus berjuang.

2.1.2  Derajat Adversity Quotient (AQ)

            Paul G. Stolz membagi AQ menjadi tiga kategori dimana ketiga kategori ini juga diidentikkan menjadi tiga tingkatan AQ, yaitu :

1.      AQ Tinggi

            Ciri-cirinya adalah mampu untuk mengendalikan setiap kesulitan, secara positif mampu mempengaruhi situasi tersebut dan cepat pulih dari penderitaan, individu merasa perlu untuk memperbaiki setiap kesulitan yang ada tanpa mempermasalahkan dan menyalahkan siapa yang menyebabkan kesulitan tersebut. Kesulitan yang muncul pada satu aspek kehidupan tidak meluas pada aspek kehidupan yang lain. Individu memandang kesulitan yang ada sebagai situasi yang sifatnya sementara sehingga kesulitan dapat cepat berlalu, serta mampu memandang apa yang ada dibalik tantangan. Individu dengan AQ yang tinggi diidentikkan sebagai orang yang mendaki (climber).

2.      AQ Sedang

            Ciri-cirinya adalah individu mempunyai pengendalian yang cukup. Saat kesulitan yang menumpuk, terkadang individu menjadi kurang mampu untuk mengendalikan tersebut yang pada akhirnya kesulitan itu membuat individu menjadi kerepotan. Individu juga memiliki rasa kepemilikian yang cukup sehingga jika individu tersebut berada dalam keadaan yang sangat lelah atau tegang maka ia cenderung untuk menyalahkan orang lain. Pada AQ yang sedang ini, jika individu mengalami kesulitan pada satu aspek kehidupan maka kesulitan tersebut cenderung dapat mempengaruhi aspek kehidupan yang lainnya sehingga membuat individu tersebut cenderung terbebani oleh kesulitan tersebut. Individu cukup mampu memandang kesulitan sebagai situasi yang sifatnya sementara dan cepat berlalu, tetapi ketika kesulitan tersebut semakin menumpuk, membuatnya cenderung putus harapan dan cenderung memandang kesulitan tersebut akan berlangsung lama atau menetap. Individu dengan AQ sedang diidentikkan dengan manusia tipe campers (berkemah).

3.      AQ Rendah

            Ciri-cirinya adalah individu memiliki sedikit pengendalian terhadap kesulitan sehingga apabila kesulitan semakin menumpuk, individu itu cenderung menyerah dan tidak berdaya. Individu itu cenderung menyerah dan tidak berdaya. Individu juga cenderung untuk menyalahkan orang lain atas kesulitan yang timbul tanpa merasa perlu untuk memperbaiki situasi tersebut. Kesulitan yang ada cenderung mempengaruhi semua aspek kehidupan individu sehingga ia merasa kehidupannya dikelilingi oleh kesulitan. Individu tersebut memandang kesulitan sebagai situasi yang berlangsung lama bahkan menetap sehingga membuat individu itu menjadi putus asa dan menyerah. Individu dengan AQ yang rendah diidentikkan sebagai orang yang terhenti (quitters).

2.1.3 Dimensi Adversity Quotient (AQ)

            Menurut Paul G. Stolz, Adversity Quotient memiliki emapat dimensi (CORE), yaitu :

1.      Dimensi pertama adalah Control  ( C = Pengendalian )

      Control mempunyai dua sisi. Pertama, sejauh mana individu mampu secara positif mempengaruhi suatu situasi. Kedua, sejauh mana individu mengendalikan tanggapannya terhadap suatu situasi. Semakin tinggi skor seseorang pada dimensi ini, semakin besar kemungkinan ia merasa bahwa ia mempunyai tingkat kendali yang lebih kuat atas perubahan-perubahan atau peristiwa-peristiwa yang burul sehingga akan membawanya kepada pendekatan yang lebih berdaya dan proaktif serta kemungkinan untuk bertahan dalam kesulitan. Namun sebaliknya, semakin rendah skot seseorang pada dimensi ini, semakin besar kemungkinan ia merasa bahwa peristiwa-peristiwa yang buruk berada diluar kendali dan hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk mencegah atau membatasi kerugian-kerugiannya.

  1. Dimensi kedua adalah Origin & Ownership ( asal usul/tanggung jawab )

      Dimensi ini mempertanyakan sejauh mana individu mengendalikan dirinya sendiri untuk memperbaiki situasi yang dihadapi tanpa mempedulikan penyebabnya. Origin & Ownership berarti bahwa kalau ada sesuatu yang tidak beres, individu akan memainkan peran dalam melakukan pemulihan kembali tanpa peduli siapa yang salah atau apa penyebabnya. Semakin tnggi skor membuat individu semakin mampu menilai dan memecahkan masalah, melakukan tindakan untuk menghentikkan tingkah laku yang membahayakan, menggali kesulitan untuk mencari peluang, menghindari kesalahan dimasa yang akan datang. Semakin rendah skor seseorang maka orang tersebut akan semakin menyalahkan orang lain.

  1. Dimensi ketiga adalah Reach ( R = jangkauan )

      Dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu. Individu yang memiliki skor yang tinggi pada dimensi ini akan semakin besar kemungkinannya untuk merespon kesulitan-kesulitan yang muncul sebagai akibat dari perubahan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin sempit kesulitan itu mempengaruhi bidang-bidang lain dalam kehidupan individu, maka semakin besar kecenderungan untuk dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Sedangkan mereka yang memiliki skor yang rendah pada dimensi ini akan semakin besar kemungkinannya untuk melihat kesulitan tersebut sebagai suatu bencana yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya dan menganggap peristiwa-peristiwa yang baik sebagai sesuatu yang khusus dan terbatas jangkauannya. Semakin luas kesulitan itu mempengaruhi bidang-bidang lain dalam kehidupan individu, semakin bear potensi untuk membangkitkan rasa takut, keadaan tidak berdaya, apatis dan tidak bertindak.

  1. Dimensi keempat adalah Endurance ( E = daya tahan )

                  Dimensi ini mempertanyakan berapa lama kesulitan akan berlangsung yang selanjutnya akan mempengaruhi seberapa lama ketahanan individu. Skor yang tinggi pada dimensi ini besar kemungkinan untuk melihat kesuksesan dari suatu perubahan dan perbaikan sebagai sesuatu yang berlangsung lama dan menganggap kesulitan yang mencul tersebut sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, cepat berlalu dan besar kemungkinannya untuk terjadi lagi, sehingga membuat individu dapat bertahan terhadap kesulitan yang ada. Sebaliknya semakin rendah skor dalam dimensi ini maka semakin besar kemungkinan ia memandang peristiwa-peristiwa positif sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan kesulitan yang muncul sebagai peristiwa yang berlangsung lama.  

2.2 Mahasiswa
2.2.1 Pengertian Mahasiswa

         Susantoro (2003) mengatakan bahwa mahasiswa adalah kalangan muda yang berumur antara 19-28 tahun yang memang dalam usia tersebutmengalami suatu peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa. Susantoro menyatakan bahwa sosok mahaiswa juga kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap keilmuannya yang dalam melihat sesuatu berdasarkan kenyataan objektif, sistematis dan rasional.
         Kenninston (dalam Morgan, dkk 1986) mengatakan bahwa mahasiswa (youth) adalah suatu periode yang disebutnya “studenthood” (masa belajar) yang terjadi hanya pada individu yang memasuki post secondary education dan sebelum masuk kedalam dunia kerja yang menetap. 

2.2.2 Ciri-ciri Mahasiswa

         Mahasiswa merupakan  anggota masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tertentu, antara lain (Kartono, 1985) :
1.      Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk belajar di Perguruan tinggi, sehingga dapat digolongkan sebagai kaum intelegensia.
2.      Dapat bertindak sebagai pemimpin yang mampu dan terampil, baik sebagai pemimpin masyarakat ataupun dalam dunia kerja.
3.      Diharapkan menjadi “daya penggerak yang dinamis bagi proses modernisasi”.
4.      Diharapkan dapat memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang berkualitas dan profesional.

         Ciri-ciri mahasiswa berdasarkan masa remaja akhir :

1.      Mulai stabil dalam aspek fisik dan psikisnya terutama aspek sikap, perasaan atau emosi
2.      Lebih realistis dalam berfikir karena sudah mulai memasuki tahapan berfikir formal operasional (tahapan berfikir menurut J.Piaget)
3.      Lebih matang menghadapi masalah
4.      Lebih tenang perasaannya
5.      Perkembangan minat dan cita-citanya terhadap pendidikan, lawan jenis, rekreasi dan pekerjaan
6.      Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.
7.      Mencapai perilaku yang bertanggung jawab secara sosial.

2.2.3 Perilaku Belajar Di Perguruan Tinggi

            Belajar diperguruan tinggi merupakan suatu pilihan strategik dalam mencapai tujuan individual seseorang. Semangat, cara belajar, dan sikap mahasiswa terhadap belajar sangat dipengaruhi oleh kesadaran akan adanya tujuan individual dan tujuan lembaga pendidikan yang jelas. Dosen dan kuliah bukan merupakan sumber pengetahuan utama oleh karena itu perlu diredefinisi pengertian kuliah sejak dini. Kuliah merupakan ajang untuk mengkonfirmasi pemahaman mahasiswa dalam proses belajar mandiri. Untuk mendukung proses belajar-mengajar yang efektif seperti itu, dosen dan mahasiswa harus mengacu dan memegang buku yang sama.
            Pengendalian proses belajar lebih penting daripada hasil atau nilai ujian. Kalau proses belajar dijalankan dengan baik, nilai merupakan konsekuensi logis dari proses tersebut. Kalau proses belajar tidak dikendalikan dengan baik, nilai tidak mencerminkan adanya perubahan perilaku walaupun nilai tersebut menambah atribut seseorang. Memasuki perguruan tinggi tentunya mahasiswa membutuhkan banyak informasi yang tidak hanya didapatkan dari dosen ataupun kuliah namun ada konsep memiliki buku dan diskusi dalam belajar diperguruan tinggi. Buku merupakan sumber pengetahuan. Hal yang sering kurang disadari mahasiswa adalah bahwa memiliki buku lain sekali artinya dengan memiliki kertas bergambar huruf. Lebih menarik lagi adalah bahwa memiliki buku belum merupakan suatu sikap atau budaya kita. Kurangnya minat untuk memiliki buku mungkin timbul karena anggapan bahwa dosen dan kuliah merupakan sumber pengetahuan utama sedangkan buku hanya referensi tambahan. Mungkin juga masih dianggap hal yang kurang etis di Indonesia untuk memaksa mahasiswa membawa buku dalam kuliah dan digunakan bersama di kelas (mungkin karena kemampuan ekonomik yang tidak sama untuk membeli). Dalam belajar diperguruan tinggi biasanya banyak menggunakan buku bahasa asing sebagai pegangan utama walaupun terdapat buku berbahasa Indonesia yang sebenarnya cukup memadai (tentu saja buku tersebut tidak sempurna). Alasannya adalah mahasiswa harus menguasai materi sekaligus mampu berbahasa Inggris (membaca buku teks asing). Akibatnya, karena kenyataan kemampuan rata-rata mahasiswa untuk memahami buku berbahasa asing (Inggris), banyak mahasiswa yang dengan segala upaya mencari terjemahan atau berusaha mencari penerjemah secara bersama-sama dan membawa buku bahasa Inggris di kelas untuk formalitas saja.